LenteraIndonesia.co.id || Kalirejo, Ungaran Timur — Jika dzikir adalah gelombang, maka dawuh beliau adalah kompas—tenang, tajam, dan menembus hati. Ada yang menunduk, ada yang mengusap air mata, ada yang menggenggam tasbih lebih erat.
Kalirejo sore itu serasa menjadi ruang suci tanpa dinding.
Tradisi yang Tak Padam
Di barisan paling depan, para sesepuh duduk dengan ketenangan khas usia yang matang. Di belakangnya, generasi muda menyimak dengan penuh hormat. Tradisi haul tetap hidup bukan semata karena formalitas, melainkan karena hati manusia enggan kehilangan jejak para guru mursyid yang telah menuntun mereka dalam perjalanan ruhani.
Haul bukan sekadar peringatan; ia adalah jembatan antara masa kini dan warisan leluhur, antara kegelisahan dunia dan keteduhan dzikir.
Senja dan Ketenangan yang Pulang Bersama Jamaah
Menjelang sore, cahaya merunduk di balik Gunung Ungaran. Para jamaah meninggalkan lokasi haul dengan langkah yang tenang. Tidak banyak yang mereka bawa secara fisik, namun hati mereka pulang dalam keadaan lebih lapang—diselimuti ketenangan dari mengingat Allah dan keberkahan dari sanad para guru mursyid.
Di wajah-wajah mereka tersimpan sesuatu yang tak diucap, tetapi terasa: kedamaian yang pulang bersama mereka.
Tindakan Lebih Tajam dari Suara
Orang berilmu, auranya berada di bawah perkataannya; namun bagi ahli makrifat, auranya justru melampaui perkataannya.
Guru sufi sejati bukan hanya membimbing dengan petuah. Ia hadir melalui aura yang membangkitkan jiwa, melalui isyarat yang menembus batin lebih dalam daripada retorika.
Syaikh sejati mendidik dengan akhlaknya, menyucikan dengan ketundukannya, dan menyinari murid melalui cahaya batinnya.
Mereka adalah pemilik aura kearifan—pemilik makrifat yang tidak perlu banyak bicara, karena kehadirannya saja sudah menjadi pelajaran.
Editor : Red






