Wartawan Mengaku Dihalangi Saat Meliput di Kejari Surabaya

ReD
Selasa, 16 Desember 2025, 12/16/2025 WIB Last Updated 2025-12-16T15:53:04Z

www.domainesia.com
lentera-indonesia

LenteraIndonesia.co.id || Surabaya - Kejaksaan Negeri Surabaya menjadi perhatian publik setelah seorang petugas keamanan internal diduga melarang wartawan menjalankan aktivitas jurnalistik di lingkungan kantor kejaksaan. Peristiwa tersebut dialami Harifin, jurnalis media online, yang saat itu tengah melakukan peliputan terkait informasi P21 tahap II terhadap tersangka Bimas Nurcahya bin Tjipto Tranggono (alm).


Insiden itu terjadi ketika Harifin berada di area Kejaksaan Negeri Surabaya dalam rangka melaksanakan tugas jurnalistik. Namun upaya peliputan tersebut dihentikan oleh Sahrul, petugas keamanan kejaksaan, yang meminta agar wartawan tidak melanjutkan pengambilan gambar maupun pengumpulan informasi di area yang diklaim sebagai kewenangan internal.


Situasi sempat memanas ketika terjadi adu mulut antara wartawan dan petugas keamanan. Dalam kejadian itu, Harifin juga diminta menunjukkan kartu identitas pers oleh petugas keamanan Kejaksaan Negeri Surabaya.


Di tengah situasi tersebut, pantauan awak media juga menangkap kondisi bus tahanan Kejari Surabaya yang tampak berkarat dan digunakan untuk mengangkut para tersangka menuju rumah tahanan. Fakta ini turut menjadi perhatian jurnalis yang berada di lokasi.


“Candra selaku Intelijen Kejaksaan Negeri Surabaya, bilang hanya diperbolehkan 2 orang saja yang ambil foto. Padahal ada sekitar 6 orang, tak sampai ia juga meminta jangan  jangan Bimas saja ada yang diliput ada selain Bimas ada juga tahap II yang lain, "  beber Harifin, Selasa (16/12).


Ia menuturkan, wartawan lain bernama Arif yang melakukan pemotretan menggunakan telepon genggam juga mendapat teguran keras dari petugas keamanan. “Jangan foto-foto pak, gak boleh foto,” ucap petugas tersebut dengan nada ketus.


Harifin menambahkan, dalam situasi itu Candra disebut berjanji akan memberikan foto resmi para tersangka kepada awak media.


Peristiwa ini memunculkan pertanyaan serius di kalangan jurnalis terkait batas kewenangan petugas keamanan dalam membatasi kerja pers, khususnya di ruang publik yang berkaitan dengan pelayanan hukum dan informasi kepada masyarakat.


Larangan liputan tersebut memantik diskusi lebih luas mengenai penghormatan terhadap kemerdekaan pers yang dijamin Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam regulasi tersebut ditegaskan bahwa wartawan memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi selama dijalankan sesuai kode etik jurnalistik dan ketentuan hukum yang berlaku.


Di sisi lain, lembaga penegak hukum memang memiliki prosedur pengamanan internal. Namun pembatasan terhadap kerja jurnalistik dinilai harus memiliki dasar yang jelas, proporsional, dan disampaikan secara transparan agar tidak menimbulkan kesan penghalangan tugas pers.


Praktisi hukum Teguh Wibisono Santoso menegaskan bahwa pemerintah dan aparat pelaksana memiliki kewajiban utama untuk menyediakan informasi kepada publik, khususnya kepada insan pers.


“Pemerintah atau pelaksanaan itu adalah kita harus menyediakan informasinya. Masalah informasi mana yang mau diliput oleh wartawan mau apa itu kembalikan lagi kepada orang persnya. Artinya gini, bahwa kalau ada upaya untuk menghalangi ataupun ada upaya apapun yang tidak bisa memberikan transparansi, itu pasti akan menjadi persoalan dalam demokrasi. Tentang adanya informasi, masalah berita seperti apapun dihalangi adalah tidak boleh dihalangi,” ujarnya.


Menurut Teguh, aparat negara seharusnya tidak menunjukkan sikap arogansi dalam berinteraksi dengan media, melainkan mengedepankan prinsip melayani.


“Yang kedua, harus aparatnya yang memberikan fasilitas, kepada media. Gimana kita bisa mendapatkan akses informasi itu sebebas-bebasnya. Jadi kalau saya ngomong jangan sifatnya seperti arogansi seperti itu, tetapi lebih kepada server leadership, melayani. Artinya kalian adalah aparat, kalian yang melayani, kalian yang menyediakan, dan bahkan kalau perlu kalian yang mengundang kita untuk mendapatkan seluruh informasi tersebut,” tegasnya.


Ia juga mengingatkan bahwa setiap upaya pembatasan atau pengaburan informasi justru akan menimbulkan kecurigaan publik.


“Kalau menurut saya ada upaya seperti mengecoh, membatasi, dan sebagainya, ini ada upaya apa untuk menghalangi, itu akan menjadi tanda tanya besar bagi publik,” kata Teguh.


Lebih jauh, Teguh menekankan bahwa penyediaan informasi seharusnya bersifat proaktif.


“Di dalam informasi tersebut seharusnya pemerintah yang menyediakan informasi, bukan kita yang harus mencari dulu. Bila perlu masalah foto dan sebagainya sudah ditempel, informasi sudah disampaikan resmi. Jadi kita tidak perlu datang ke sana untuk mencari, tapi dari aparatur pemerintah sudah menyediakan informasi tersebut yang bisa kita akses secara bebas,” pungkasnya.


Hingga berita ini ditayangkan, belum ada pernyataan resmi secara menyeluruh dari pihak Kejaksaan Negeri Surabaya terkait kronologi kejadian maupun dasar kebijakan pelarangan liputan tersebut. Publik dan insan pers masih menantikan klarifikasi terbuka guna memastikan relasi antara institusi penegak hukum dan media tetap berjalan dalam koridor saling menghormati, transparan, serta sejalan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi. 



Editor : Red

Komentar

Tampilkan

BERITA TERBARU

Laporan-Masyarakat

+