![]() |
| Foto : Siti Aisyah, M.E. (Dosen MBS Institut Badri Mashduqi) |
LenteraIndonesia.co.id,- Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam kehidupan keluarga. Internet, gawai, dan media sosial kini menjadi bagian dari keseharian, bahkan sejak anak masih berusia sangat dini. Situasi ini menempatkan ibu pada posisi yang semakin kompleks. Ibu tidak lagi hanya berperan sebagai pengasuh dan pendidik utama dalam keluarga, tetapi juga sebagai penentu arah bagaimana teknologi digunakan agar mendukung, bukan merusak, proses pengasuhan.
Teknologi digital sejatinya menghadirkan banyak peluang bagi ibu. Akses terhadap informasi tentang kesehatan, pendidikan, dan perkembangan anak kini terbuka luas. Ibu dapat dengan mudah memperoleh pengetahuan tentang pola asuh, gizi, hingga strategi pembelajaran yang sesuai dengan usia anak. Teknologi juga membantu ibu dalam menjalankan peran ganda, terutama bagi ibu yang bekerja, melalui kemudahan komunikasi, manajemen waktu, dan fleksibilitas aktivitas.
Namun, kemudahan tersebut tidak datang tanpa risiko. Anak-anak yang tumbuh di era digital berhadapan dengan paparan layar yang intens. Penggunaan gawai secara berlebihan dapat mengurangi aktivitas fisik, menurunkan kemampuan bersosialisasi, serta mempengaruhi konsentrasi dan emosi anak. Dalam kondisi ini, ibu sering kali dihadapkan pada dilema: membatasi penggunaan teknologi berpotensi memicu konflik, sementara membiarkannya tanpa kendali dapat berdampak buruk bagi perkembangan anak.
Peran ibu di era digital tidak cukup hanya sebagai pengawas, tetapi sebagai pendamping yang sadar dan aktif. Ibu perlu memahami dunia digital yang dihadapi anak agar mampu memberikan arahan yang tepat. Literasi digital menjadi kebutuhan utama, bukan pilihan. Dengan pemahaman yang memadai, ibu dapat menilai konten yang layak dikonsumsi anak, sekaligus mengajarkan anak untuk bersikap kritis terhadap informasi yang diterima dari dunia maya.
Keteladanan ibu memegang peranan yang sangat penting. Anak belajar bukan hanya dari nasihat, tetapi dari perilaku yang mereka lihat setiap hari. Ketika ibu mampu menggunakan teknologi secara bijak tidak berlebihan, tidak bergantung, dan tetap mengutamakan interaksi langsung dengan anak akan memahami bahwa teknologi hanyalah alat bantu, bukan pusat kehidupan. Konsistensi antara perkataan dan tindakan ibu menjadi kunci keberhasilan pengasuhan di era digital.
Teknologi juga membawa perubahan dalam pola komunikasi keluarga. Kehadiran gawai sering kali mengurangi kualitas interaksi tatap muka. Momen kebersamaan, seperti makan bersama atau berbincang santai, mudah terganggu oleh notifikasi dan aktivitas daring. Dalam konteks ini, ibu berperan sebagai penjaga ruang emosional keluarga. Menciptakan waktu khusus tanpa gawai dan membangun komunikasi yang hangat menjadi upaya penting untuk menjaga kedekatan antara ibu dan anak.
Di sisi lain, teknologi tidak selalu menjadi ancaman. Jika dimanfaatkan secara tepat, teknologi dapat menjadi sarana pendukung pengasuhan yang efektif. Aplikasi edukatif, buku digital, dan konten kreatif dapat membantu anak mengembangkan kemampuan berpikir, kreativitas, dan minat belajar. Ibu dapat berperan sebagai fasilitator yang mengarahkan anak menggunakan teknologi secara produktif dan bertanggung jawab. Pendekatan ini membantu anak memahami bahwa teknologi dapat menjadi sarana belajar dan berkarya, bukan sekadar hiburan pasif.
Tantangan lain yang dihadapi ibu di era digital adalah tekanan sosial yang muncul dari media sosial. Gambaran keluarga ideal dan pola asuh sempurna sering kali menciptakan standar yang tidak realistis. Perbandingan sosial ini dapat memicu rasa tidak percaya diri, kelelahan emosional, bahkan rasa bersalah pada ibu. Dalam kondisi tersebut, ibu perlu membangun kesadaran bahwa setiap keluarga memiliki dinamika dan tantangan yang berbeda. Pengasuhan yang baik tidak diukur dari citra di media sosial, melainkan dari kualitas kehadiran dan perhatian terhadap anak.
Selain itu, ibu memiliki peran penting dalam menanamkan etika digital kepada anak. Anak perlu dibekali pemahaman tentang sopan santun dalam berkomunikasi, menghargai privasi, serta menyadari dampak dari perilaku di dunia maya. Nilai-nilai seperti kejujuran, empati, dan tanggung jawab tetap relevan, meskipun konteksnya berada di ruang digital. Pendidikan karakter inilah yang menjadi fondasi agar anak mampu menggunakan teknologi secara bijak dan beretika.
Pada akhirnya, ibu di era digital berada di antara dua realitas: kemajuan teknologi yang tidak terelakkan dan kebutuhan pengasuhan yang berlandaskan kasih sayang serta kedekatan emosional. Tantangan ini bukan untuk dihindari, melainkan dikelola dengan kebijaksanaan. Dengan literasi digital yang baik, keteladanan yang konsisten, serta penguatan nilai-nilai keluarga, ibu mampu menjembatani teknologi dan pengasuhan secara seimbang.
“Ibu di Era Digital: Antara Teknologi dan Pengasuhan” adalah refleksi bahwa peran ibu justru semakin penting di tengah arus digitalisasi. Teknologi boleh terus berkembang, tetapi sentuhan kasih sayang, perhatian, dan bimbingan ibu tetap menjadi fondasi utama dalam membentuk generasi yang cerdas, berkarakter, dan berakhlak di masa depan.
Editor : Nasir






