LenteraIndonesia.co.id || Pati,- Hari Santri kemarin, Rabu 22 Oktober 2025, menjadi salah satu momen paling berkesan bagi saya. Pada hari itu, saya mendapat kesempatan untuk berkhidmah mendampingi seorang kiai besar yang menjadi pemimpin tertinggi organisasi kesantrian di Indonesia, yaitu KH. Miftachul Akhyar, Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Saya merasa mendapat keberkahan karena bisa mendampingi Rais Aam saat beliau mengisi acara di Masjid Sunan Muria dan Masjid al-Aqsha Sunan Kudus, juga ketika di tempat istirahat dan berkunjung ke salah satu pondok sepuh di Kudus.
Dari kedekatan itu, saya banyak belajar dari akhlak mulia KH. Miftachul Akhyar. Beliau sangat rendah hati, menjaga perasaan dan open alias peduli terhadap orang lain, ikhlas, dermawan, serta penuh semangat dalam berdakwah. Banyak sekali sifat-sifat baik yang membuat saya tambah kagum kepada beliau.
Salah satu contoh kerendahan hati beliau terjadi ketika singgah di PP Yanbu’ul Qur’an Muria asuhan KH. Nur Khamim , sebelum menuju Masjid Makam Sunan Muria. Saat diminta memimpin doa untuk pondok, beliau dengan rendah hati berkata, “Silakan panjenengan-panjenengan saja yang berdoa. Di hati panjenengan tersimpan Al-Qur’an.”
Awalnya beliau menolak untuk memimpin doa dan justru mempersilakan kiai lain. Namun setelah didesak dengan hormat oleh para kiai yang hadir, akhirnya beliau berkenan memimpin doa.
Momen lain yang sangat menyentuh hati saya terjadi setelah acara di Masjid Sunan Muria. Saat hendak pulang, pengurus yayasan bermaksud memberikan bisyarah (tanda terima kasih) kepada beliau. Namun KH. Miftachul Akhyar menolaknya sambil berkata, “Sudah, tidak usah. Ini untuk Yayasan Muria saja.”
Mendengar dan menyaksikan penolakan itu, air mata saya langsung mengalir deras. Saya benar-benar terharu melihat keikhlasan beliau—betapa tulus dan bersih hatinya.
Hal serupa juga terjadi ketika beliau berada di Komplek Menara Kudus. Di sana pun, bisyarah yang sudah disiapkan pengurus yayasan kembali beliau tolak. Karena bingung, pihak yayasan akhirnya menitipkannya lewat khadim beliau, Gus Nufus, agar tetap disampaikan kepada KH. Miftachul Akhyar.
Ketika Gus Nufus menyerahkan titipan itu, KH. Miftachul Akhyar justru menegur, “Kenapa kamu terima? Kan tadi sudah saya tolak.”
Gus Nufus menjawab dengan sopan, “Oh, maaf Yai, saya tidak tahu.”
Akhirnya KH. Miftachul Akhyar berkata, “Baik, sekarang saya terima bisyarahnya. Tapi saya kembalikan lagi sebagai sedekah untuk yayasan. Tolong nanti disampaikan, ya.”
Tak lama kemudian, Gus Nufus memanggil saya untuk menyerahkan kembali bisyarah itu kepada yayasan. Saya pun mengundang sekretaris yayasan dan ikut mendampingi. Awalnya pihak yayasan menolak, tetapi setelah dijelaskan bahwa KH. Miftachul Akhyar sudah menerima bisyarah itu dan menyuruh Gus Nufus untuk disedekahkan kembali kepada yayasan, akhirnya mereka menerimanya dengan penuh haru dan syukur.
---
Beberapa bulan lalu, saya berkesempatan sowan ke ndalem KH. Miftachul Akhyar di Surabaya. Tujuan saya waktu itu adalah untuk melaporkan hasil kegiatan Jelajah Turots Nusantara yang digelar di Kudus pada 13 Juli 2025. Dalam laporan tersebut, saya sampaikan bahwa setelah acara di Kudus, semangat khidmah untuk melestarikan warisan leluhur kini semakin meluas. Tidak hanya berupa Nahdlatut Turots (Kebangkitan Kitab Klasik), tetapi juga perlu merambah ke khidmah berupa Nahdlatul Ma’ahid al-Qadimah (Kebangkitan Pesantren Tua).
Saya juga menceritakan kepada KH. Miftachul Akhyar bahwa salah satu berkah dari acara di Kudus adalah pertemuan saya dengan dzurriyyah KHR. Ahmad Kamal Hambali, salah satu pendiri NU asal Kudus. Seusai acara, dzurriyyah itu meminta saya untuk membantu mencari kitab-kitab lama peninggalan KHR. Ahmad Kamal Hambali di Pondok Kamal, sebuah pondok tua yang didirikan KHR. Ahmad Kamal Hambali. Dalam pencarian itu, kami menemukan sejumlah kitab, termasuk kitab peninggalan beliau yang berisi catatan hari, tanggal, bulan, dan tahun kelahiran KHR. Ahmad Kamal Hambali.
Dalam kesempatan yang sama, keluarga KHR. Ahmad Kamal Hambali juga meminta saya untuk mulai menghidupkan kegiatan ngaji di pondok tersebut. Selama ini pondok memang masih dihuni oleh para santri, kebanyakan dari Banten dan Jawa Barat, namun belum ada kiai yang yang membimbing dan menghidupkan kegiatan ta'lim dan ta'allum mereka.
Mendengar laporan dari saya, KH. Miftachul Akhyar tampak tersenyum senang. Mungkin karena ada pondok pesantren tua yang didirikan pendiri NU mau dihidup-hidupkan kembali.
----
Saat istirahat di guest house milik Yayasan Menara, saya matur kepada beliau bahwa lokasi Pondok Kamal sangat dekat dengan Menara Kudus, dan jika ada waktu luang, mohon kiranya beliau berkenan singgah untuk memberikan doa dan keberkahan.
Alhamdulillah, setelah beristirahat cukup sebelum pulang KH. Miftachul Akhyar bersedia mampir ke Pondok Kamal untuk memberikan doa dan keberkahan. Harapan saya, semoga dengan kedatangan beliau, pondok tua peninggalan salah satu pendiri NU ini bisa kembali hidup dan ramai dengan kegiatan keilmuan. Juga saya pun dapat istiqamah berkhidmah semampunya dalam menghidupkan kegiatan ta’lim dan ta’allum di sana.
Saat kunjungan itu, saya memperlihatkan kepada KH. Miftachul Akhyar beberapa kitab peninggalan dan kitab karya KHR. Ahmad Kamal Hambali. Salah satu karya beliau adalah kitab syair maulid berbahasa Jawa berjudul Surya Cerita Mertelaaken Maulid Junjungan Kita Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Saya juga mengajak beliau melihat prasasti yang terukir di bangunan Pondok Kamal, berisi tanggal berdirinya bangunan pondok, yaitu 2 Muharram 1350 H / 8 Juni 1931 M.
Sebelum berpamitan, saya memohon kepada KH. Miftachul Akhyar agar berkenan mendoakan pondok tersebut, kami dan para santri. Dengan penuh kerendahan hati, beliau menjawab, “Saya ke sini untuk tabarrukan ke pondok ini, kok malah diminta berdoa." Namun setelah saya memohon beberapa kali, akhirnya beliau pun berkenan memanjatkan doa.
Usai berdoa, beliau bersiap pulang. Saya mengantar beliau hingga ke mobil. Ketika saya menjulurkan tangan untuk bersalaman, beliau tampak mengambil sesuatu dari balik bajunya, lalu mengulurkan tangannya dan memberikan sesuatu kepada saya. Ternyata itu seikat uang cukup tebal. Seketika saya menangis dan berusaha menolak, sambil berkata, “Ya Allah, jangan, Yai. Saya tidak bisa memberikan apa-apa, malah panjenengan yang memberi.”
Beliau tersenyum dan berkata, “Tidak apa-apa. Terima saja. Buat beli batu-bata pondok.”
Ya Allah… saya benar-benar tak mampu menahan air mata. Terharu sekaligus malu melihat akhlak mulia sesepuh warga Nahdliyyin ini — betapa jauh saya dari keteladanan seperti beliau.
Setelah mobil KH. Miftachul Akhyar berangkat, saya menghampiri Gus Nufus, khadim beliau. Saya bilang, “Gus, saya tidak enak sama Yai Mif. Uangnya saya kembalikan lewat panjenengan saja ya.”
Namun Gus Nufus menjawab, “Terima saja uangnya. Memang begitulah KH. Miftachul Akhyar.”
Ya Allah, jagalah KH. Miftachul Akhyar dari segala keburukan. Panjangkan umur beliau dalam kesehatan dan keselamatan. Lindungilah Nahdlatul Ulama agar tetap menjadi benteng Ahlus Sunnah wal Jama’ah di bumi Nusantara. Limpahkan rahmat dan rida-Mu kepada para pendiri, pejuang, dan pengkhidmah NU.
Aamiin.
SC : Nana ainal faus
Editor : Red






